PENINGKATAN KAPASITAS BAWASLU DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMILU
|
Oleh : TAUFIEK SUHARTO (Kordiv Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kabupaten Bogor)
Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) adalah alat Indikator untuk mengukur kerawanan suatu wilayah yang melaksanakan pemilihan baik ditingkat Pusat, Provinsi maupun Pada tingkat Kabupaten/Kota. Ada beberapa Dimensi yang bisa kita temui dalam tumbuhnya Indeks Kerawanan pemilu ini, dimensi dimaksud adalah Cara pandang terhadap kualifikasi persoalan yang dianggap akan timbul pada saat tahapan penyelenggaraan pemilu
Diantaranya Dimensi yang akan disampaikan dalam hal ini, adalah Indikator kerawanan yang akan timbul dari Dimensi Peserta Pemilu dan Dimensi Partisipasi Masyarakat.
Dalam Dimensi Peserta Pemilu, dalam sudut pandang ini ada beberapa Variable Indikator yang akan timbul dalam pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu, diantaranya :
- Variable Potensi Konflik, indikator yang akan muncul adalah, dimungkinkan akan timbulnya sikap panatisme dari Kader Parpol, Simpatisan Parpol atau paslon dan Ormas pendukung Paslon.
- Variabel Dukungan ASN, indikator yang akan timbul adalah keterlibatan ASN terkait dengan Pengajuanm Pasangan Calon dan Indikasi Sanksi Bawaslu Pada titik ketidaknetralan ASN.
- Dukungan Partai Pengusung, Indikator yang dimungkinkan timbul adalah Konflik yang akan terjadi antar partai pendukung, konflik internal Partai dan Pelanggaran Partai Politik dalam upaya mencari simpatisan sebagai contoh mencuri start kampaye politik.
- Politik Uang (Money Politik), atau dapat dikaitkan juga dengan Pengadaan Sarana Dan Prasana, Indikator yang dimungkinkan ada adalah Partai Pendukung, Simpatisan, Ormas Pendukung bagi-bagi uang, sembako atau melaksanakan rekayasa Bantuan Sosial.
- Politik Identitas, indikator yang akan ditimbulkan Pasangan Calon Partai Pendukung menggunakan rekayasa, pengalihan isu terkait sara dan anti komunis.
Dari kelima variable dalam Dimensi Peserta pemilu diatas, sudah barang tentu kesemuanya itu akan berakibat terjadinya kencedraan nilai yang tidak baik terhadap pelaksanaan tahapan pemilu yang dilaksanakan, hal ini juga mengandung makna bahwa, pemilu yang dilaksanakan akan menjadkan sebuah pemilu yang Tidak berintegritas jauh dari keberadaban terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam asas pemilu yang dicantumkan dalam Undang-undang yaitu asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL).
Sedangkan dalam Dimensi Partisipasi Masyarakat, Variable yang dimunculkan adalah :
- Partisipasi Masyarakat, indikator yang dikemukakan adalah Rasa ketakutan masyarakat takut ke TPS karena COVID-19, timbulnya sikap apatis masyarakat akibat kejenuhan dan janji-janji politik Paslon ataupun Calon Legislatif, sehingga dimungkinkan rendahnya partisipasi masyarakat yang cenderung Golput.
- Pengaruh Pasangan Calon dan atau Partai Politik, Indikatornya adalah terjadinya mobilisasi masyarakat oleh Paslon, Partai Pendukung dan atau Partai Politik yang menimbulkan konflik, kemudian Paslon atau Partai Politik Pendukung dan atau Partai Politik memprovokasi masyarakat untuk anarkis, untuk selanjutnya Paslon, Partai Politik Pendukung dan atau Partai Politik memanfaatkan konflik tersebut untuk memperoleh suara dan lai-lain.
Dimensi, Variable dan Indikator yang disampaikan diatas tentunya akan memnimbulkan dampak terhadap urgensi pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 mendatang dan tidak menutup kemungkinan Potensi IKP ini sangat wajib diantisipasi oleh setiap unsur dari penyelenggara Pemilu, terutama terkait dengan indikator Politik uang yang sering atau bahkan hamper dikatakan “lumrah” terjadi pada saaat pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan.
Penyelenggara Pemilu yang diamanatkan oleh undang undang adalah Komisi Pemilihan Umum dan BAWASLU yang sudah tentu dalam Tugas, fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh kedua lembaga penyelenggara ini adalah sebagai penjamin pelaksanaan pemilu sesuai cita-cita pada amanat undang-undang yaitu melaksanakan Pemilu dan Pemilihan dengan menjunjung tinggi nilai Integritas pemilu yaitu terselenggaranya pemilu yang Jujur dan Adil.
Sesuai dengan Perannya Bawaslu diberikan amanat oleh undang-undang sebagai Pengawas Pemilu dari setiap tahapan Pelaksanaan Pemilu yang akan diselenggarakan. Hal Ini adalah semata-mata merupakan bentuk jaminan dari undang-undang yang menjamin bahwa pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan yang diselengarakan sesuai dengan harapan dan capaian pelaksanaan pemilu yang baik dan benar dan pada akhirnya mempunyai pengakuan dari masyarakat secara umum.
Terkait dengan jaminan dimaksud dalam undang-undang Nomer 7 Tahun 2017 pada Pasal 476 ayat (1) ditegaskan bahwa “Laporan dugaan tindak pidana Pemilu diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu (Kabupaten/ Kota, dan/ atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana Pemilu”.
Dalam pengaturan selanjutnya terkait indikator politik uang, UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 515, disebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tert€ntu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Jaminan ini tentunya juga harus dibarengi dengan adanya peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia dari para Anggota dan Jajaran Bawaslu sendiri dalam melakukan tindakan dan perlakuan penanganan terkait kasus-kasus yang timbul baik dalam tataran Pelanggaran ataupun dalam bentuk Kejahatan Politik yang dilakukan oleh pihak peserta pemilu, paslon, simpatisan dan Ormas pendukung Partai Politik, seperti adanya bentuk kewenangan penanganan penyelidikan dan penyidikan yang bisa dilakukan oleh Anggota Bawaslu pada tiap tingkatan.
Oleh karena itu sepatutnya amanat UU Nomor 7 tahun 2017, disebutkan pada Pasal 478 bahwa, “Untuk dapat ditetapkan sebagai penyelidik dan penyidik tindak pidana Pemilu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- telah mengikuti pelatihan khusus mengenai penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Pemilu;
- cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya; dan
- tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin”.
Dalam pasal 478 UU Nomor 7 tahun 2017 tersebut dimaksudkan diatas, seolah mendorong Bawaslu untuk melakukan berbagai macam pelatihan terkait dengan kemampuan dan keahlian secara personal dalam melakukan penanganan tindak pidana pemilu yang tentunya juga hal ini akan lebih memudahkan Bawaslu dalam melakukan identifikasi masalah yang sesungguhnya terjadi dengan tentunya juga diberikan kewenangan yang tidak berbenturan dengan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang secara tegas bahwa penyidikan dan penyelidikan dalam Pasal 1 Ketentuan Umumnya menyebutkan bahwa,
- Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
- Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
- Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
- Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk mel akukan penyelidikan.
- Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sehingga dalam kesimpulan sementara yang dapat disampaikan bahwa tidak hanya penguatan kapasitas sumber daya manusia yang harus dilakukan dalam hal penguasaan pengetahuan tentang penyidikan dan penyelidikan saja, akan tetapi Bawaslu juga perlu mendorong pemerintah untuk menerbitkan payung hokum berupa undang-undang yang mengatur tentang kewenangan penanganan pelanggaran dan tindak pidana pemilu dalam hal penyidikan dan penyelidikan bisa dilakukan oleh Bawaslu secara utuh.